Senin, 09 Juli 2012

H.M Cholil Nafis, Lc. MA: Memoles NU Agar Lebih Berkilap

FOTO: khozanah.wordpress.com
Usianya masih muda, 33 tahun. Namun, sejumlah jabatan penting dipercayakan padanya, dari Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI), Sekretaris MUI Prop. DKI Jakarta, hingga Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU). Namun dirinya mengaku kerap merasa malu dengan jabatannya yang banyak. “Tapi gimana, diminta orang, ya,” ujar H.M. Cholil Nafis mengawali wawancara dengan Suara Hidayatullah di Kantor BWI di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur.
Dari semua jabatannya, posisinya sebagai wakil ketua di LBM PBNU adalah yang paling menarik. Di lembaga yang berisi para kiai sepuh ini, Cholil kadang dicap fundamentalis wahabi yang ingin melunturkan kultur NU. Kok bisa? Alasan pertama, katanya, ia lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), cabang Universitas Islam Ibnu Sa’ud, Arab Saudi. Kedua, ia menyerukan untuk kembali kepada al-Qur`an dan al-Hadits sebelum mengambil perkataan ulama. Ketiga, namun bukan yang terakhir, dirinya mengharamkan rokok.
Kembali kepada al-Qur`an dan al-Hadits adalah agenda utama Cholil di NU. Namun bukan berarti orang NU anti al-Qur`an dan al-Hadits. Masalahnya kata Cholil, orang NU takut jika langsung memakai al-Qur`an dan al-Hadits. Mereka merasa tidak pantas atau tidak memiliki tingkatan seperti para ulama untuk menyimpulkan langsung dari al-Qur`an dan al-Hadits. “Hingga setiap keputusan langsung (dari) qaul ‘ulama (perkatan ulama),” ujar pria asal Sampang, Madura.
Cholil sempat mengemukakan hal ini pada acara Mukatamar NU ke-31 di Boyolali, beberapa tahun lalu. Karuan saja ia mendapat cibiran dari sebagian kiai, “Ini sudah nggak NU lagi!” Bahkan ada yang berkata, “Kembalikan lagi! Dari dulu tradisi kita nggak ada al-Qur`an–al-Hadits,” ujarnya mengutip selentingan komentar yang menimpanya.
Yang khawatir dengan ide Cholil –kebanyakan golongan tua– merasa takut warna NU akan luntur. Namun Cholil menjawab, bahwa yang dilakukannya adalah memoles dan mengasah warna NU, bukan melunturkan. Yang ia takutkan, jika mengambil qaul ‘ulama tanpa tahu dasarnya dari al-Qur`an dan al-Hadits, sama saja taklid buta. Karena ijtihad ulama bisa benar dan bisa salah.
Cholil mengatakan, melihat penjelasan ulama tentang al-Qur`an dan al-Hadits memang penting. “Tapi jangan dibalik. Ke qaul ‘ulama, tapi al-Qur`an dan al-Haditsnya tidak diambil,” ujar lulusan LIPIA tahun 2000 ini.
Agar Tidak Jadi Berhala
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada ulama, kata Cholil, ide yang dibawanya adalah mengikuti metode para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum dari al-Qur`an dan al-Hadits. Sehingga tidak dogmatis, dan terdapat ruang untuk ber-ijtihad meski tetap dalam kerangka.
Kalau ini bisa kita implementasikan, katanya, umat Islam semuanya bisa bersatu. Organisasi akan menjadi alat saja, tidak menjadi berhala. “Muhammadiyah, NU, Persis, Perti, Hidayatullah, itu kan semua cuma alat. Semua itu lil Islam (untuk Islam). Bagaimana kembali kepada Islam, tidak direduksi menjadi kecil-kecil.”
Program yang disebutnya pembenahan istimbat manhaj ini, rencananya akan kembali ia gulirkan pada Muktamar NU pada akhir 2009 nanti. Bahkan saat ini, Cholil pun sedang meneliti putusan-putusan yang pernah dibuat Bahtsul Masail sejak tahun 2006. Ada sekitar 534 keputusan yang ia teliti rujukan-rujukannya. “Karena di situ sama sekali tidak al-Qur`an dan al-Hadits,” ujarnya.
Citra Liberal
Suatu waktu, Cholil yang juga mengasuh di radio RAS FM Jakarta pernah meminta kepada sesepuh pembina radio tersebut, KH Abdurrasyid Abdullah Syafi’i agar orang NU bisa ikut mengisi siaran. Tak diduga KH Abdurrasyid berkata, “ Wah NU itu liberal.” Sedang KH. Abdurrasyid saat itu mengenal Cholil sebagai orang MUI DKI.
Dari situ Cholil berkesimpulan, berarti orang luar menganggap NU itu liberal semua. Padahal kata Cholil, tidak semua orang NU itu seperti Ulil Abshar Abdalla (menyatakan semua agama sama) atau seperti Musdah Mulia (menghalalkan homoseksual).
Cholil mengaku sangat ingin memberi teguran resmi melalui organisasi kepada sebagian warga NU yang berpikiran liberal. Harapannya, agar orang tahu kalau ide-ide liberal tersebut bukan dari NU. “Banyak kabar simpang siur mengatakan, dia (Musdah) kan orang Fatayat NU atau dia kan orang Muslimat NU. Padahal itu pemikiran mereka pribadi,” tegas Cholil yang dekat dengan Allahuyarham KH Irfan Zidny, sesepuh NU yang juga disegani tokoh liberal NU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Masalahnya kata Cholil, para kiai di dewan syuriah sudah sepuh. Mereka sibuk dengan pesantren dan membina umat. Sementara orang di luar ramai memainkan isu. Untuk itu, ia dan teman-teman seangkatan berinisiatif memberi masukan dan menyiapkan semua materi aktual untuk dibahas di Bahtsul Masail. “Alhamdulillah, hasilnya sedikit lebih terkendali,” katanya.
Cholil mengatakan, pada periode ini sejak tahun 2004, tidak ada orang dalam struktur PBNU yang berpendapat nyeleneh atas nama NU. Malah ketika ribut soal Ahmadiyah beberapa bulan lalu, PBNU menguatkan sikapnya lewat pernyataan resmi tentang sesatnya Ahmadiyah.
Membidani BWI
Cholil lahir tanggal 1 Juni 1975 di Sampang, Madura, Jawa Timur. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan H Hasanuddin dan Hj Nafisah. Ia meraih gelar sarjana dari LIPIA tahun 2000, dan Sarjana Tarbiyah dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) az-Ziyadah Jakarta di tahun yang sama. Gelar magister diperolehnya dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003.
Pernikahannya dengan Muslimah asli Betawi, Fairuz, melahirkan tiga orang anak: Najma dan Najwa (kembar usia 6 tahun), dan Hasbi Cholili berusia 4 tahun.
Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (Dosen) di Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia juga dipercaya untuk mengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2004-sekarang). Cholil meraih Penghargaan Rektor Universitas Indonesia sebagai dosen pascasarjana dan penulis buku pada tahun 2005. Ia juga menjadi Anggota Dewan Pengawas Syariah Inkopontren.
Proses lahirnya Badan wakaf Indonesia (BWI) tidak lepas dari perannya. Pasca pelaksanaan Konferensi Ekonomi Islam ke-4 di Amerika Serikat, ia bersama Musthafa Edwin Nasution menindaklanjuti makalah Prof Dr MA Manan mengenai praktek wakaf uang di Bangladesh.
Makalah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu diseminarkan di kantor Bank Indonesia (BI), bekerja sama dengan Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI), BI , dan didukung oleh Direktorat Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI dan Telkom.
Seminar yang bertemakan “Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat” ini merupakan seminar pertama tentang wakaf uang di Indonesia.
Saat itu, Cholil menjadi Ketua Panitia Seminar tersebut. Dari seminar inilah lalu muncul gagasan untuk membuat undang-undang tentang wakaf yang mengamanatkan berdirinya BWI.
Ia juga aktif menulis karya ilmiah, di antaranya: Tim penulis buku Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Fiqih Wakaf, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf. Sementara itu, buku yang pernah ia tulis berjudul, Piagam Madinah dan Deklarasi HAM: Studi atas Nilai-Nilai Pluralisme Beragama, Rekonstruksi Visi Berpolitik. *Surya Fachrizal, Ahmad Rifa’i/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar