Senin, 09 Juli 2012

Sejarah Nahdlotul Ulama (NU)


Sebagai “kebangkitan kaum ulama”, Nahdlatul Ulama berdiri untuk mempertahankan kehidupan keagamaan berdasarkan empat mazhab, tapi juga untuk membendung sikap kaku kaum Wahabi.
Begitu Perang Dunia I berakhir pada 1918, Kesultanan Turki Usmani di Turki guncang. Sementara kekuasaan sultan – yang meneruskan tradisi kekhalifahan Islam di seluruh dunia – mulai dipersoalkan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Akhirnya, pada 1922, Majelis Rakyat Turki menghapus kekuasaan Sultan Abdul Majid dan menjadikan Turki sebagai republik. Dan dua tahun kemudian Majelis menghapuskan lembaga khilafat.
Perkembangan politik di Turki tersebut ternyata cukup bikin bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin Islam yang kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru. Termasuk kaum muslimin Indonesia, yang merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu, pada 1924, kebetulan Mesir sedang mempersiapkan sebuah muktamar tentang masalah khilafat tersebut.
Untuk mengantisipasi diselenggarakannya kongres tersebut, pada 4 Oktober 1924 sejumlah ormas Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno (Sarekat Islam), dengan K.H.A. Wahab Chasbullah (kalangan pesantren) sebagai wakil. Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924, antara lain diputuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, yang beranggotakan Suryopranoto (Sarekat Islam), A.R. Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Wahab Chasbullah (pesantren).
Ternyata Kongres Khilafat di Kairo ditunda, karena perhatian umat Islam seluruh dunia tertuju pada perkembangan di Hijaz (kini Arab Saudi) ketika Ibnu Saud – yang kemudian menjadi raja – mengambil alih kekuasaan Syarif Husein. Berkolaborasi dengan para ulama Wahabi, pemerintahan baru di Hijaz mulai melakukan pembersihan terhadap praktik beragama yang dianggap tak sesuai dengan paham Wahabi, paham yang menganggap praktik-praktik kaum tradisionalis yang tidak tertera dalam Al-Quran dan hadis adalah bid’ah (lihat Kisah Utama Alkisah No. 16/2005). Di Indonesia, gerakan Wahabi itu di satu pihak mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis, tapi di lain pihak ditolak oleh kalangan kiai dan pesantren.
Pada 21-27 Agustus 1925, digelar Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta. Salah satu agendanya ialah membahas undangan Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Undangan itu juga dibahas dalam Kongres Al-Islam V di Bandung, 5 Februari 1926. Dalam kedua kongres tersebut, kaum muslim modernis, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, sangat mendominasi.
Bahkan sebelumnya, 8-10 Januari 1926, mereka juga sudah menggelar pertemuan tersendiri. Dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim H.O.S. Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Keputusan itu kemudian diperkuat dalam Kongres Al-Islam V di Bandung.
Dalailul Khayrat
K.H.A. Wahab Chasbullah, yang mewakili komunitas kiai dan pesantren, seperti tersingkir dari arena kongres. Beberapa usul yang ia ajukan berdasarkan aspirasi kaum tradisionalis tidak mendapat tanggapan. Begitu pula saran agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keislaman sebagaimana tercantum dalam kitab Dalailul Khayrat, sepertinya tidak digubris.
Akhirnya, Kiai Wahab dan tiga santrinya meninggalkan arena kongres. Mereka lalu menyelenggarakan pertemuan dengan para ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, Kiai Wahab tak jemu-jemunya menyodorkan gagasan perlunya membangun sebuah jam’iyah (perkumpulan) kepada para ulama, termasuk kepada gurunya, K.H. Hasjim Asj’ari. Namun, Kiai Hasjim tidak serta merta menerima dan merestui ide tersebut, sebelum melakukan shalat Istikharah selama beberapa bulan.

Dalam pada itu diam-diam Kiai Cholil dari Bangkalan mengamati perkembangan tersebut. Kiai Cholil adalah guru Kiai Hasjim dan Kiai Wahab. Suatu hari ia memanggil seorang santri yang juga masih cucunya, As’ad Syamsul Arifin, yang ketika itu baru berusia 27 tahun. “Saat ini Kiai Hasjim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebatang tongkat. “Baik, Kiai,” jawab As’ad, yang kelak juga menjadi ulama besar.
Lalu Kiai Cholil berpesan kepada cucunya itu, “Bacakanlah ayat-ayat ini kepada Kiai Hasjim: Wama tilka biyaminika ya Musa. Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa ahusysyu biha ‘ala ghanami awliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya Musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala khudzha wala takhaf sanu’iduhi siratahal ula. Wadhmum yadaka ila janahika tahruj baidha’a min ghairi su’in ayatan ukhra. Linuriyaka min ayatinal kubra.” (QS 20: 17-23). Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kualitas kepemimpinan Nabi Musa.
Artinya, “Apakah yang di tangan kananmu, hai Musa?” Jawab Musa, “Ini tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul untuk kambingku, dan ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu. Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Kepitkanlah tangan ke ketiakmu, niscaya ia menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.”

Maka As’ad pun segera menuju ke Pesantren Tebuireng, kediaman Kiai Hasjim. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tongkat ini kepada Kiai,” kata As’ad sambil mengulurkan sebatang tongkat. Kiai Hasjim menerimanya dengan penuh khidmat. “Ada lagi yang hendak engkau sampaikan?” tanya Kiai Hasjim.
“Ada, Kiai,” jawab As’ad, kemudian membacakan ayat-ayat yang disampaikan oleh Kiai Cholil. Mendengar ayat-ayat itu, hati Kiai Hasjim tergetar. Matanya menerawang, mengenang wajah Kiai Cholil yang tua dan bijak. Ia menangkap isyarat, gurunya itu tidak keberatan jika ia dan teman-temannya mendirikan sebuah jam’iyah.
Sejak itu, keinginan untuk mendirikan jam’iyah semakin matang. Beberapa tahun kemudian, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini,” katanya. “Kiai juga diminta mengamalkan doa Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap saat,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya itu diterima oleh Kiai Hasjim dengan penuh khidmat. Dan kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan sebuah jam’iyah.
Empat Mazhab
Setahun kemudian, 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti K.H. Hasjim Asj’ari, K.H. Bisri Sansuri (keduanya dari Jombang), K.H. Ridlwan Abdullah (Surabaya), K.H. Asnawi (Kudus), K.H. Ma’sum (Lasem), K.H. Nawawi (Pasuruan), K.H. Nahrowi (Malang), K.H. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan lain-lain.
Pertemuan tersebut antara lain memutuskan, mengirim delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran mazhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat mazhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pertemuan para ulama di Surabaya itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah. Pertemuan tersebut sebenarnya juga merupakan reaksi terhadap policy pemerintah Hindia Belanda yang membatasi umat Islam menunaikan ibadah haji.
Hal itu juga didasarkan pada pengalaman dakwah Walisanga, yang secara cerdas dan kreatif mengislamkan Nusantara tanpa gejolak – yang membedakan Nahdlatul Ulama dengan gerakan Islam modernis. Pada awal berdirinya, NU belum menetapkan anggaran dasar. Baru pada muktamar 1928, organisasi ini menetapkan anggaran dasar untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda. Belakangan, Nahdlatul Ulama menetapkan anutannya terhadap empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) demi kemaslahatan umat. Artinya, NU tampil sebagai pengawal kesinambungan tradisi dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Nahdlatul Ulama berusaha mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari “kecerobohan” penafsiran kaum muda yang mempertanyakan ajaran Islam – yang telah ditafsirkan para ulama salaf saleh (salafus shalih) – yang mereka pandang sudah mapan. Namun itu tidak berarti NU alergi terhadap pembaruan atau modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap oleh Nahdlatul Ulama, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara perlahan-lahan, madrasah NU juga mengajarkan ilmu umum, di samping pelajaran agama.
Ketika Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) – sebuah federasi longgar dari semua partai dan ormas Islam – terbentuk pada November 1945, NU dan Muhammadiyah menjadi dua pilar utamanya. Namun, menjelang pemilu pertama tahun 1955, NU keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai Islam. Hasilnya mengejutkan, partai baru itu muncul sebagai pemenang ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.
Di awal Orde Baru tahun 1967, semua partai Islam, termasuk NU, dipaksa oleh pemerintah Soeharto untuk berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Merasa selalu tersingkirkan, terutama karena dominasi peran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) – yang boleh dikata merupakan jelmaan Masyumi – maka dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur (1984), NU mundur dari PPP, bahkan kemudian menyatakan “kembali ke khitah 1926” alias tidak berpolitik.
Itu tak berarti NU tak berpolitik sama sekali. Sebab, “kembali ke khitah 1926” berarti juga konsolidasi besar-besaran – yang tiada lain juga merupakan langkah politik strategis. Keputusan yang sangat tepat itu belakangan ternyata klop dengan suasana politik paska reformasi tahun 1998 ketika demokrasi mulai mekar. Ketika itulah NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan dalam pemilu yang cukup demokrasi, 7 Juni 1999, PKB berhasil leading debagai “lima besar.”

ORGANISASI

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
  • 33 Wilayah
  • 439 Cabang
  • 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
  • 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
  • 47.125 Ranting

Perkuliahan Stainu Pindah

Minggu, 05 April 2009



Pelatihan ICT Senior Teacher Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul 'Ulama Se-Indonesia



Pelatihan ICT Senior Teacher Asosiasi Perguruan Tinggi Nahdlatul 'Ulama Se-Indonesia yang diselenggarakan di Kampus Universitas Islam Nusantara dari tanggal 08 Maret s/d 13 Maret 2009, pelatihan ini terlaksana atas kerjasama Intel Education, Aptinu, Al-ma'Arif dan Uninus yang di hadiri oleh beberapa perwakilan dari perguruan tinggi di bawah naungan NU. Beberapa Instruktur Intel Indonesia diantaranya Brimy Laksamana, Heru Triswiyono, Augnito Moningka dan dibantu oleh beberapa instruktur dari Puskom Uninus yaitu Ir. Soecipto, Tansah Rahmatullah, ST, Ruhiyat Sobirin, ST. dan Hendra Saepul. Sedangkan para peserta perwakilan dari masing-masing perguruan tinggi yang dihadiri bukan hanya sekitar pulau jawa bahkan dari luar jawa pun hadir yang antaranya :1. Irman, M.Ag. perwakilan STAI Al-Masturiah Sukabumi2. Ayatullah Fiddari perwakilan STAI KH.Abdul Kabier Banten3. Taufik Akhmad perwakilan STAI KH. Abdul Kabier Banten4. Rizka Husnu Maulana perwakilan STIT Nurul Hikmah Cianjur5. Drs. Kemas Imron Rosadi, M.Pd. perwakilan STAI Ma'arif Jambi6. M. Yazid Afandi perwakilan STIQ Yogyakarta7. Ari Hasan Ansori perwakilan STAISMAN Pandeglang8. M. Hafidh Nasrullah, SE. perwakilan Univ. Islam Darul 'Ulum Jawa Timur9. Imam Bukhori, M.Pd. perwakilan STAINU Jakarta10. Nur Cholid, M.Pd. perwakilan Univ. Wahid Hasyim Semarang 11. Arif rahman perwakilan STAI AL Hikmah Jakarta12. Kusdinar TM, S.Ag. perwakilan STAI Darul Falah Bandung Barat13. H.Asep A. Fathurrohman , LC.,M.Ag. perwakilan Univ. Islam Nusantara Bandung14. Nur Ainiyah perwakilan Univ. Islam Nusantara Bandung15. H. Dendi Yuda S,M.Ag. perwakilan Institut Agama Islam Cipasung Tasikmalaya16. Safruddin perwakilan STAI Azziyadah Duren Sawit Jakarta Timur17. A.Rudy P. Perwakilan STAIMA Sintang Kalimantan Barat18. Dian Asmorojati perwakilan UNSIQ Wonosobo19. Ari Yanto Perwakilan STAI Ma'arif Metro Lampung20. Asep Sukandar, S.Ag, M.M.Pd perwakilan Univ.Islam Nusantara Bandung21. Wawan Irawan, S.Kom perwakilan STAIBANNA Pandeglang Banten22. Imam Satibi perwakilan STAINU Kebumen Tema pelatihan :a. Meningkatkan dan mengembangkan lingkungan belajar di abad ke 21b. Membantu perkembangan pemikiran kritis dan kerjasama di dalam kelasc. Memfasilitasi kelas yang mengutamakan siswa dan mendorong pemikiran siswa ke tingkat yang lebih tinggid. Memperoleh dan menerapkan kecakapan teknologi dasar dalam membantu menciptakan produktivitas dosene. mempergunakan teknologi secara efektif untuk menciptakan produk yang relevan.

STAI-NU JAKARTA DAN KEMAJUAN

Minggu, 18 Januari 2009

Depag Bantu Pembangunan STAINU Rp 1 Miliar


Profile STAINU Jakarta


Depag Tawarkan Beasiswa untuk Siswa Aliyah

Depag Tawarkan Beasiswa untuk Siswa Aliyah Berprestasi Jumat, 24 Oktober 2008 15:01 Jakarta, NU OnlineDerpartemen Agama (Depag) menawarkan beasiswa bagi siswa kelas 3 aliyah berprestasi, yakni peraih peringkat 1 hingga 5 di sekolah atau pesantrennya masing-masing, untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.Sedikitnya ada 6 perguruan tinggi yang ditawarkan yakni ITB, IPB, UGM, ITS, Unair, dan Brawijaya, serta beberapa UIN khusus seperti UIN Jakarta untuk fakultas kedokteran, UIN Yogyakarta untuk bidang syariah, dan UIN Semarang untuk ilmu falaq.Demikian disampaikan Direktur Jendral Pendidikan Islam Prof Dr Mohammad Ali, MA di Kantor Depag, Jakarta, Kamis (23/10).Siswa yang berprestasi itu akan diajukan oleh Depag setempat kemudian akan diadakan ujian seleksi di perguruan tinggi yang dipilih.“Jadi nanti mereka diajukan melalui Kantor Wilayah (Kanwil) Depag setempat, dan mereka akan seleksi lagi di perguruan tinggi yang bersangkutan,” kata Mohammad Ali.Menurutnya, para siswa yang lolos seleksi akan dibebaskan biaya kuliah dan diberikan biaya hidup.Ditambahkan, beasiswa yang diberikan Depag melalui Direktorat Jendral Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) untuk lulusan Madrasah Aliyah dari Pesantren, terus bertambah dari tahun ke tahun. “Untuk tahun ini (2008) beasiswa diberikan untuk sekitar 300 siswa dan tahun depan (2009) bertambah menjadi 400 siswa,” katanya. (nam)

Latar Belakang Terbentuknya Nahdlatul Ulama

Rabu, Juni 13, 20120 comments


NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dengan tokoh sentralnya KH.Hasyim Asy'ari dan KH.Wahab Hasbullah. kelahiran NU tentu tidak datang dari langit disiang bolong melainkan di dahului oleh proses panjang yang membentuknya.setidaknya ada tiga tiang penyangga terbentuknya NU, yaitu Kebangkitan Bangsa (Nahdlattul Wattan), Kebangkitan Kaum Saudagar (Nahdlatut tujjar), dan Artikulasi Pemikiran (Tashwirul Afkar).

Buku berjudul Menggerakkan Nahdlatut Tujjar yang ditulis Audien Jauharudin ini hadir secara khusus untuk mengkaji salah satu tiang penyagga terbntuknya NU:Nahdlatut Tujjar. buku ini boleh dikata termasuk "lensa teropong" untuk menilik Nahdlatut Tujjar di masa silam yang didirikan tahun 1918 dan mencoba menghadirkan semangatnya di masa kini. dengan demikian buku ini merupakan dokumen berharga yang berisi refleksi tentang pa yang di sebut dengan ekonomi NU.
Sebagai organisasi ekonomi NU, Nahdlatut Tujjar sbenarnya kurang begitu populer dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia. Nahdlatut Tujjar jarang sekali termaktub dalam catatan sejarah resmi, ini terjadi karena tiga alasan.pertama, sejarah Nahdlatut Tujjar tidak pernah terdokumenkan secara rapi, baik pleh para peneliti maupun penerusnya. kedua, ketidaktahuan kalangan peneliti mengenai keberadaan Nahdlatut Tujjar dan pengaruhnya terhadap perekonomian saat itu. ketiga, kemungkinan adanya distorsi penulisan sejarah.
Mwnurut Adien Jauharudin, diantara ketiga alasan diatas kemungkinan alasan yang pertama dan kedualah yang menyebabkan pemerhati NU atupun para peneliti asing tidak banyak menelaah Nahdlatut Tujjar. buku yang secara jelas menulis dengan judul Nahdlatu Tujjar hanya sebuah buku yang berjudul Sekilas Nahdlatut Tujjar yang ditulis oleh Jaringan Komisi Fatwa Surabaya namun, buku Sekilas Nahdlatut Tujjar ini hanyalah "buku perkenalan" yang tidak lengkap mengulas Nahdlatut Tujjar. disinilah letak penting kehadiran buku Menggerakkan Nahdlatut Tujjar ini.

Nahdlatu Tujjar lahir srbagai expresi para ulama' di tiga jalur strategis di Jawa Timur. yaitu Surabaya, Kediri dab Jombang, yang didorong oleh dua faktor penting, pertama, para ulama kebanyakan belum berbuat dalam upaya pemberdayaan rakyat, padahal kemiskinan dan kemaksiatan sudah asampai pada tahap yang sangat memprihatinkan kala itu. kedua, kolonialisme belanda sudah merontikkan sendi sendi kehidupan masyarakat termasuk tradisi perdagangan.
Proses lahirnya Nahdlatut Tujjar diprakasai oleh 45 saudagar santri yang berada ditiga jalur strategis di Jaea Timur.diantara 45 orang pendirinya, hanya ada dua tokoh ulama' yang sangat disegani yaitu KH.Hasyim Asy'ari dan KH.Wahab Hasbullah, sementara yang lainnya aslah para saudagar santri biasa yang memiliki kesamaan visi dan misi untik mengangkat kuaitas kehidupan masyarakat disatu sisi, dan memerangi kolonialisme yang telah melahirkan aneka bentuk ekploitasi dan penindasan disisi lainnya.
Mengingat Nahdlatut Tujjar lahir dan beroperasi di Surabaya, Kediri, dan Jombang, maka penulis buku ini perlu membaca dan melacak kondisi perekonomian di tiga wilayah tersebut. dari sinilah diketahui bahwa pertama, sejak tahun 1612 Surabaya sudah menjadi kota perdagangan. selain itu Surabaya dikenal sebagai kota pelabuhan dan industri yang multi etnis.dalam laporan kolonial verslag, pada akhir tahun 1830-an madiun telah ikut meramaikan pasar keresidenan Surabya yang kala itu dikendalikan Cina dengan menjual 3.335 ton pertahun.
Kedua, Kediri adlah kota tua dan pernah menjadi saksi runtuhnya kerajaan kerajaan besar di Jawa. secara umum masyarakat kediri memiliki ciri ciri religious, peternalistik, dan memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi. dalam konteks perdagangan Kediri sama maraknya dengan Surabaya, sebagai akibat kian bnyaknya permintaan barang di tengah kondisi perdagangan yang sebagaian dikuasai oleh orang orang cina, artinya,  sebagaimana Surabaya, Kediri memiliki pera yang tidak kecil dalam hal perdagangan.
Ketiga secara administratif Jombang Baru didirikan pada tahun 1910 meskipun eksistensinya sudah ada sejak tahun 1880, seperti yang diketahuai kabupaten jombang merupakan daerah yang dikenal kaya akan pesantren berikut dengan para ulama'nya, karena itu tidak heran para pendiri Nahdlatut Tujjar adalah sebagian besar para ulama' yang berasal dari kabupaten jombang.
Berkaitan dengan pendiri Nahdlatut Tujjar ini, KH.Hasyim Asy'ri menguraikan problem problem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH.Hasyim Asyari kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para ulama', karena merekalah pemimpin dan teladan umat. apabila basis basis dan simpul simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun, selain para ulama' telah berdosa bangsa ini juga akan terpuruk dalam kemiskinan, kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.
Problem lainnya adalah pengaruh penyebaran islam sufistik yang telah meracini pola pikir masyarakat islam Indonesia. kedatangan kelomp[okkelompok sufi ke tanah air jelas telah menggoyahkan kontruksi islam yang telah di bangun oleh para penyebar islam sebelumnya. dampak yang paling nyata adalah pergeseran orientasi dari fiddunnya hasanah (harapan akan kebaikan dunia) ke fil akhiroti hasana (harapan kebaikan akhirat), dalam pergeseran semacam itu banyak saudagar muslim tidak memiliki etos kerja dan kepedulian sosial.
Yang tidak kalah menarik yang dicatat oleh Adien Jauharudin, sejak awal pendiriannya Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan managemen organisasi modern, pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja dimana ada pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing dan pengawas keliling, sudah di praktekkan di Nahdlatut Tujjar, KH.Hasyim Asyari di pilaih sebagai kepala perusahaan dan mufti (semacam komisaris) KH.Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H.Bisri sebagai sekretaris perusahaan dan Syafi'i sebagai marketing sekaligus pegatur perusahaan
Selain itu konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana. yang di era sekarang di kenal sebagai profit share. pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersma, tetapi masih boleh di kembalikan untuk memperkuat modal, dengan itu Nahdlatut Tujjar didirikan buakn hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama' melainkan menjaga tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakn pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri dan jombang
Lebih dari itu Nahdlatut Tujjar juga memiliki cita cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan dan kebodohan.

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)

I. Sejarah lahirnya IPNU

Berawal dari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan .
• Pada tahun 1939 lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama).
• Pada tahun 1947 Lahir IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang.
• Pada tahun 1950 berdiri IMNU (Ikatan Mubaligh Nahdlatul Ulama di Semarang.
• PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri.
• Di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama.
Namun organisasi-organisasi yang telah berdiri di atas masih berjuang sendiri-sendiri dan tidak mengenal di antara satu sama lain.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka Almarhum Tholcha Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Pada kongres ke VI di Surabaya IPNU menjadi badan otonom NU (Nahdlatul Ulama). Sehingga IPNU Berhak mengatur rumah tangganya sendiri baik ke luar maupun ke dalam, tidak lagi tergantung kepada kebijakan LP Ma’arif.
Pada perkembangan selanjutnya IPNU berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama saat kongres ke X di Jombang disebabkan organisasi pelajar yang diakui pemerintah hanya OSIS sebagai organisasi intra sekolah dan Pramuka sebagai organisasi ekstra sekolah. Sehingga ladang garap IPNU tidak hanya pelajar dan santri saja, tetapi juga pemuda, remaja dan mahasiswa.
Di dalam kongres XIV tanggal 18 – 24 Juni 2003 di Surabaya IPNU sepakat untuk kembali ke habitatnya semula dengan berganti nama menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dengan orientasi pelajar, santri dan mahasiswa.
Lahirnya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan wadah pengkaderan bagi generasi muda NU yang bersumber dari kalangan pesantren dan pendidikan umum, yang diharapkan dapat berkiprah di berbagai bidang, baik politik (kebangsaan), birokrasi, maupun bidang-bidang profesi lainnya. Pada awalnya embrio organisasi ini adalah berbagai organisasi atau asosiasi pelajar dan santri NU yang masih bersifat lokal dan parsial.

II. Tujuan Organisasi

Terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah swt., berilmu, berakhlaq mulia, dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Di bidang pendidikan IPNU mempunyai tujuan:

• Untuk memelihara rasa persatuan dan kekeluargaan di antara pelajar umum, santri dan mahasiswa.
• Membina dan meningkatkan pendidikan dan kebudayaan Islam.
• Meningkatkan harkat masyarakat Indonesia yang berasusila dan mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.

III. Trilogi IPNU

Konsep dasar perjuangan IPNU di masyarakat pelajar
Belajar – Berjuang – Bertaqwa

IV. Lambang Organisasi

Makna Logo
Warna dasar hijau tua: Subur
Bentuk bulatan: Kontinyu (berkesinam-bungan)
Lingkaran dasar putih Lingkaran tengah kuning: Hikmah dan cita-cita tinggi
Huruf IPNU putih: Suci
3 titik di antara singkatan IPNU: Islam, Iman, Ihsan
6 garis strip (kanan 3 dan kiri 3) putih: Suci
9 bintang kuning: Lambang NU
2 kitab putih: Al-Qur’an dan Al-Hadits
2 bulu angsa bersilang putih: Menuntut ilmu agama dan ilmu umum
5 sudut bintang: Rukun Islam

V. Citra Diri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama

Citra diri IPNU & IPPNU dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa manusia bertanggung jawab melaksanakan misi khalifah, yaitu memelihara, mengatur, dan memakmurkan bumi.
Makna dan fungsi manusia sebagai khalifah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi sosial (horizontal) dan dimensi ilahiah (vertikal)
1. Sosial bermakna mengenal alam, memikirkannya, dan memanfaatkan alam demi kebaikan dan ketinggian derajat manusia sendiri.
2. Ilahiah yaitu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.
Secara sosiologis manusia merupakan suatu komunitas yang memiliki nila-nilai kemanusiaan (moral, nilai sosial dan nilai keilmuan)

VI. Kondisi IPNU Sebelum Khitthah NU

IPNU telah melangkah menuju kemajuan dan kiprahnya telah diakui masyarakat. Namun pada perkembangannya tidak dapat mencapai puncak programnya, karena NU sebagai organisasi induknya pada saat itu masih terbawa arus politik sehingga ummat tidak menjadi perhatian utama.

VII. Kondisi IPNU Pasca Khitthah NU

Perkembangan pasca khittah NU dan Kongres Jombang sangat menggembi-rakan karena khittah mampu mencipatkan iklim yang kondusif bagi pengem-bangan organisasi.
Namun IPNU menyadari bahwa sumbangannya sendiri dan masyarakat luas belum banyak. Dan generasi muda sebagai tenaga potensial pembangunan nasional membutuhkan pembinaan, maka IPNU memandang mendesak adanya konsep Citra Diri IPNU dalam rangka meningkatkan keperansertaannya dalam pembangunan bangsa.

VIII. Hakikat IPNU

IPNU adalah wadah perjuangan pelajar NU untuk mensosialisasikan komitmen, nilai-nilai kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan potensi sumberdaya anggota yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

IX. Orientasi IPNU

Orientasi IPNU berpijak pada kesemestaaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan pada zona keterpelajaran dengan kaidah belajar, berjuang dan bertaqwa yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran.
1. Wawasan Kebangsaan, adalah wawasan yang dijiwai oleh asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang mengakui kebhinnekaan sosial budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, hakikat dan martabat manusia, yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan demokrasi.
2. Wawasan Keislaman, adalah wawasan yang menempatkan ajaran agama Islam sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam memberikan makna dan arah pembangunan manusia, sehingga IPNU dalam bermasyarakat bersikap:
• Tawasuth dan I’tidal yakni menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran, bersikap membangun dan menghindari tindakan dan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kedhaliman,
• Tasamuh yaitu toleran terhadap perbedaan pendapat
• Tawazun yaitu seimbang dalam menjalin hubungan antara manusia dan Tuhannya, serta manusia dan lingkungannya.
• Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yaitu memiliki kecenderungan untuk melaksanakan usaha perbaikan, serta mencegah kerusakan harkat manusia dan kerusakan lingkungan, mandiri, bebas, terbuka, dan bertanggung jawab, bersikap dan bertindak.
3. Wawasan Keilmuan, adalah wawasan yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader.
4. Wawasan Kekaderan, Wawasan yang menempatkan organisasi sebagai wadah untuk membina anggota agar menjadi kader-kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi, cita-cita perjuangan organisasi, bertanggung jawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi. Membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuian serta memiliki kemampuan teknis mengembangkan organisasai kepemimpinan, kemandirian dan kepopuleran.
5. Wawasan Keterpelajaran, adalah wawasan yang menempatkan organisasi dan anggota pada pementapan diri sebagai centre of excellence pemberdayaan sumbrer daya terdidik yang berilmu, berkeahlian dan visioner, memiliki strategi dan operasionalisasi yang berpihak kepada kebenaran, kejujuran serta amar ma’ruf nahi mungkar.

X. Posisi IPNU

a. Posisi Intern
IPNU sebagai perangkat dan badan otonom NU secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lain yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan NU.
b. Posisi Ekstern
IPNU adalah bagian dari generasi muda Indonesia yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuanagan Nahdlatul Ulama serta cita-cita bangsa Indonesia.
c. Fungsi
IPNU berfungsi sebagai:
• Wadah berhimpun pelejar NU untuk melanjutkan semangat, jiwa dan nilai-nilai Nahdliyah
• Wadah komunikasi pelajar NU untuk menggalang Ukhuwah Islamiyah dan mengembangkan syari’at Islam.
• Wadah kaderisasi pelajar NU untuk mempersiapkan kader-kader bangsa.
• Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan Syariat Islam

XI. Visi IPNU

Visi IPNU adalah terbentuknya putra putra bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlaq mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya Syariat Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
XII. Misi IPNU
1. Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi IPNU
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah Al-Amah), guna terwujudnya Khaira Ummah
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi
XIII. Struktur Organisasi IPNU
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP IPNU)
2. Pimpinan IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs, SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK IPNU)

XIV. Alumni IPNU yang Menjadi “Orang Besar”
IPNU sebagai salah satu organisasi pelajar yang berskala nasional telah menumbuhkan berbagai tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemajuan Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:

1. Bapak KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
• Mantan ketua IPNU Komisariat PP Tambakberas Jombang
• Mantan Presiden RI
• Ketua Dewan Syuro PKB
2. Bapak Prof. Dr. KH. M. Tolhah Hasan (Singosari)
• Duduk sebagai Ketua cabang IPNU Malang ketika masih di bangku SLTP
• Mantan Menteri Agama (Kabinet Indonesia Bersatu-Era Gus Dur)
• Pernah menghadap Bupati Malang dengan hanya memakai celana pendek (seragam SLTP pada waktu itu)
3. Bapak Dr. KH. A. Hasyim Muzadi (Malang)
• Mantan Ketua Cabang Tuban
• Ketua Pengurus Besar NU sekarang di Jakarta
• Sekjen ICIS (International Conference of Islamic Scholars – Forum silaturahmi ulama & cendekiawan Islam sedunia)
4. Bapak Hamzah Haz
• Mantan ketua Pengurus Cabang NU Kutai
• Mantan Wakil Presiden RI
• Ketua Umum DPP PPP
5. Ida Fauziah
• Anggota DPR RI – sekarang
• Ketua PPKB pusat – sekarang
6. Khofifah Indar Parawansa
• Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan
• Ketua PP Muslimat NU – sekarang
• Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
I. Khatimah
Dengan berbagai pemaparan di atas, maka diharapkan generasi-generasi penerus IPNU & IPPNU dapat memahami organisasi IPNU & IPPNU sampai dengan permasalahan yang sekecil-kecilnya. Dengan pemahaman dan keteladanan dari tokoh-tokoh pendahulu IPNU & IPPNU, kita dapat menjadi penerus perjuangan yang benar-benar berjuang mewujudkan kejayaan ummat Islam, khususnya warga Nahdliyin Semua itu untuk mencapai satu tujuan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT sebagaimana motto IPNU & IPPNU “belajar, berjuang, dan bertaqwa”.
Cita-cita Kita:
“Terwujudnya pelajar-pelajar yang bertaqwa kepada Allah SWT,berilmu, inovatif, dan kreatif serta berguna dengan berdasarkan syariat Islam”

H.M Cholil Nafis, Lc. MA: Memoles NU Agar Lebih Berkilap

FOTO: khozanah.wordpress.com
Usianya masih muda, 33 tahun. Namun, sejumlah jabatan penting dipercayakan padanya, dari Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI), Sekretaris MUI Prop. DKI Jakarta, hingga Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU). Namun dirinya mengaku kerap merasa malu dengan jabatannya yang banyak. “Tapi gimana, diminta orang, ya,” ujar H.M. Cholil Nafis mengawali wawancara dengan Suara Hidayatullah di Kantor BWI di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur.
Dari semua jabatannya, posisinya sebagai wakil ketua di LBM PBNU adalah yang paling menarik. Di lembaga yang berisi para kiai sepuh ini, Cholil kadang dicap fundamentalis wahabi yang ingin melunturkan kultur NU. Kok bisa? Alasan pertama, katanya, ia lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), cabang Universitas Islam Ibnu Sa’ud, Arab Saudi. Kedua, ia menyerukan untuk kembali kepada al-Qur`an dan al-Hadits sebelum mengambil perkataan ulama. Ketiga, namun bukan yang terakhir, dirinya mengharamkan rokok.
Kembali kepada al-Qur`an dan al-Hadits adalah agenda utama Cholil di NU. Namun bukan berarti orang NU anti al-Qur`an dan al-Hadits. Masalahnya kata Cholil, orang NU takut jika langsung memakai al-Qur`an dan al-Hadits. Mereka merasa tidak pantas atau tidak memiliki tingkatan seperti para ulama untuk menyimpulkan langsung dari al-Qur`an dan al-Hadits. “Hingga setiap keputusan langsung (dari) qaul ‘ulama (perkatan ulama),” ujar pria asal Sampang, Madura.
Cholil sempat mengemukakan hal ini pada acara Mukatamar NU ke-31 di Boyolali, beberapa tahun lalu. Karuan saja ia mendapat cibiran dari sebagian kiai, “Ini sudah nggak NU lagi!” Bahkan ada yang berkata, “Kembalikan lagi! Dari dulu tradisi kita nggak ada al-Qur`an–al-Hadits,” ujarnya mengutip selentingan komentar yang menimpanya.
Yang khawatir dengan ide Cholil –kebanyakan golongan tua– merasa takut warna NU akan luntur. Namun Cholil menjawab, bahwa yang dilakukannya adalah memoles dan mengasah warna NU, bukan melunturkan. Yang ia takutkan, jika mengambil qaul ‘ulama tanpa tahu dasarnya dari al-Qur`an dan al-Hadits, sama saja taklid buta. Karena ijtihad ulama bisa benar dan bisa salah.
Cholil mengatakan, melihat penjelasan ulama tentang al-Qur`an dan al-Hadits memang penting. “Tapi jangan dibalik. Ke qaul ‘ulama, tapi al-Qur`an dan al-Haditsnya tidak diambil,” ujar lulusan LIPIA tahun 2000 ini.
Agar Tidak Jadi Berhala
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada ulama, kata Cholil, ide yang dibawanya adalah mengikuti metode para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum dari al-Qur`an dan al-Hadits. Sehingga tidak dogmatis, dan terdapat ruang untuk ber-ijtihad meski tetap dalam kerangka.
Kalau ini bisa kita implementasikan, katanya, umat Islam semuanya bisa bersatu. Organisasi akan menjadi alat saja, tidak menjadi berhala. “Muhammadiyah, NU, Persis, Perti, Hidayatullah, itu kan semua cuma alat. Semua itu lil Islam (untuk Islam). Bagaimana kembali kepada Islam, tidak direduksi menjadi kecil-kecil.”
Program yang disebutnya pembenahan istimbat manhaj ini, rencananya akan kembali ia gulirkan pada Muktamar NU pada akhir 2009 nanti. Bahkan saat ini, Cholil pun sedang meneliti putusan-putusan yang pernah dibuat Bahtsul Masail sejak tahun 2006. Ada sekitar 534 keputusan yang ia teliti rujukan-rujukannya. “Karena di situ sama sekali tidak al-Qur`an dan al-Hadits,” ujarnya.
Citra Liberal
Suatu waktu, Cholil yang juga mengasuh di radio RAS FM Jakarta pernah meminta kepada sesepuh pembina radio tersebut, KH Abdurrasyid Abdullah Syafi’i agar orang NU bisa ikut mengisi siaran. Tak diduga KH Abdurrasyid berkata, “ Wah NU itu liberal.” Sedang KH. Abdurrasyid saat itu mengenal Cholil sebagai orang MUI DKI.
Dari situ Cholil berkesimpulan, berarti orang luar menganggap NU itu liberal semua. Padahal kata Cholil, tidak semua orang NU itu seperti Ulil Abshar Abdalla (menyatakan semua agama sama) atau seperti Musdah Mulia (menghalalkan homoseksual).
Cholil mengaku sangat ingin memberi teguran resmi melalui organisasi kepada sebagian warga NU yang berpikiran liberal. Harapannya, agar orang tahu kalau ide-ide liberal tersebut bukan dari NU. “Banyak kabar simpang siur mengatakan, dia (Musdah) kan orang Fatayat NU atau dia kan orang Muslimat NU. Padahal itu pemikiran mereka pribadi,” tegas Cholil yang dekat dengan Allahuyarham KH Irfan Zidny, sesepuh NU yang juga disegani tokoh liberal NU, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Masalahnya kata Cholil, para kiai di dewan syuriah sudah sepuh. Mereka sibuk dengan pesantren dan membina umat. Sementara orang di luar ramai memainkan isu. Untuk itu, ia dan teman-teman seangkatan berinisiatif memberi masukan dan menyiapkan semua materi aktual untuk dibahas di Bahtsul Masail. “Alhamdulillah, hasilnya sedikit lebih terkendali,” katanya.
Cholil mengatakan, pada periode ini sejak tahun 2004, tidak ada orang dalam struktur PBNU yang berpendapat nyeleneh atas nama NU. Malah ketika ribut soal Ahmadiyah beberapa bulan lalu, PBNU menguatkan sikapnya lewat pernyataan resmi tentang sesatnya Ahmadiyah.
Membidani BWI
Cholil lahir tanggal 1 Juni 1975 di Sampang, Madura, Jawa Timur. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan H Hasanuddin dan Hj Nafisah. Ia meraih gelar sarjana dari LIPIA tahun 2000, dan Sarjana Tarbiyah dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) az-Ziyadah Jakarta di tahun yang sama. Gelar magister diperolehnya dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003.
Pernikahannya dengan Muslimah asli Betawi, Fairuz, melahirkan tiga orang anak: Najma dan Najwa (kembar usia 6 tahun), dan Hasbi Cholili berusia 4 tahun.
Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (Dosen) di Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia juga dipercaya untuk mengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2004-sekarang). Cholil meraih Penghargaan Rektor Universitas Indonesia sebagai dosen pascasarjana dan penulis buku pada tahun 2005. Ia juga menjadi Anggota Dewan Pengawas Syariah Inkopontren.
Proses lahirnya Badan wakaf Indonesia (BWI) tidak lepas dari perannya. Pasca pelaksanaan Konferensi Ekonomi Islam ke-4 di Amerika Serikat, ia bersama Musthafa Edwin Nasution menindaklanjuti makalah Prof Dr MA Manan mengenai praktek wakaf uang di Bangladesh.
Makalah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu diseminarkan di kantor Bank Indonesia (BI), bekerja sama dengan Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI-UI), BI , dan didukung oleh Direktorat Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI dan Telkom.
Seminar yang bertemakan “Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat” ini merupakan seminar pertama tentang wakaf uang di Indonesia.
Saat itu, Cholil menjadi Ketua Panitia Seminar tersebut. Dari seminar inilah lalu muncul gagasan untuk membuat undang-undang tentang wakaf yang mengamanatkan berdirinya BWI.
Ia juga aktif menulis karya ilmiah, di antaranya: Tim penulis buku Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Fiqih Wakaf, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf. Sementara itu, buku yang pernah ia tulis berjudul, Piagam Madinah dan Deklarasi HAM: Studi atas Nilai-Nilai Pluralisme Beragama, Rekonstruksi Visi Berpolitik. *Surya Fachrizal, Ahmad Rifa’i/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2008

The Anniversary of Nahdlotul Ulama’

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
 
Hadlrotussyaikh K.H Hasyim Asy’ari
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
sumber: NU.or.id

Jayalah NU, selalu lebarkan sayap aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Wong NU, ayo wiridan, ayo yasinan, ayo tahlilan, ayo ziaroh kubur, ayo maulidan. Innahu min bid’atil hasanah, falahuu ajru man ‘amila bihaa.

HALAQOH NU: 57 Kiai NU Se-Jateng Akan Hadiri Halaqoh di Semarang



Ilustrasi (www.maarif-nu.or.id)
SEMARANG – Kurang lebih 57 kiai Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa Tengah direncanakan menghadiri halaqoh (pertemuan) di Pondok Pesantren Al Islah, Mangkang Kulon Semarang. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, Muhammad Adnan, mengatakan tujuan halaqoh agar para kiai memahami dan mengerti hubungan NU dengan partai politik (parpol). “Halaqoh ini digelar berdasaran usulan para kiai NU se-Jateng untuk memahami hubungan dengan parpol khususnya PKB,” katanya, Selasa (14/2/2012). Kegiatan dengan mengusung tema NU, PKB, dan Bangsa direncanakan dilaksanakan Kamis (16/2/2012), dan akan dihadiri 57 kiai NU dari 35 kabupaten/kota di Jateng baik yang duduk di struktural NU dan Parta Kebangkitan Bangsa (PKB).
Beberapa kiai yang akan hadir antara lain, KH Ahmad Sa’id Asrori (Kabupaten Magelang), KH Ubaidillah Sodaqoh (Semarang), KH Wahib Mahfid (Kebumen), Habib Hasan Aqil Baabud (Purworejo) dan KH Syu’ada Adzikya (Cilacap). “Melalui pertemuan ini diharapkan hubungan antara NU dengan PKB tak hanya bersifat kesejarahan, tapi juga bersifat simbiosis mualisme, saling menguntungkan kedua belah pihak,” ujar Adnan.
Agenda yang akan dibahas dalam halaqoh, lanjut dia, mengenai hubungan NU dengan parpol, khususnya PKB yang fluktuatif karena terkadang kepentingan partai lebih menonjol, sehingga melupakan kepentingan NU. Melalui pertemuan para kiai ini, diharapkan masing-masing mampu memahami posisinya dan sudah menjadi kewajiban kader NU, yang ada di partai politik ikut memperjuangkan kepentingan NU.
”Elite partai perlu mengerti, mendengar, dan menindaklanjuti keinginan kiai-kiai NU,” tandasnya. Sementara anggota Fraksi PKB DPRD Jateng, KH Syamsul Maarif mengatakan melalui halaqoh ini bisa lebih mendekatkan lagi hubungan NU dan PKB. Sebab saat ini, imbuh dia, banyak kader PKB menjauh dari NU sehingga hubungannya kurang baik. Padahal NU yang membidani kelahiran PKB ”Melalui halaqoh dengan para kiai NU ini, semoga hubungan dengan PKB ke depan bisa lebih baik lagi,” ujar dia.